Yang
sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita, sebagian yang ziarah kubur
sering membawa Qur’an –terutama surat Yasin-, lalu membacanya di sisi
kubur. Kita sepakat bahwa Al Qur’an adalah kalamullah dan surat Yasin
adalah surat yang baik, mengandung pelajaran dan hikmah-hikmah penting
di dalamnya. Namun apakah ketika ziarah kubur dituntunkan demikian?
Ataukah ada tuntunan atau ajaran lainnya dari Rasul kita Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Mufti
Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah
bin Baz rahimahullah ditanya, “Apakah membaca Al Qur’an di sisi kubur
termasuk amalan yang tidak dituntunkan khususnya surat Fatihah dan Al
Baqarah? Karena setahu saya setelah membaca kitab Ar Ruh karya Ibnul
Qayyim bolehnya membaca Qur’an ketika pemakaman mayit dan setelah
pemakaman. Beliau menyebutkan bahwa para salaf menasehati agar membaca
Al Qur’ah ketika pemakaman.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
Membaca
Al Qur’an di sisi kubur adalah di antara amalan yang tidak dituntunkan
sehingga tidak boleh kita lakukan. Kita tidak boleh pula shalat di sisi
kubur karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
melakukan seperti itu. Begitu pula hal tersebut tidak pernah dituntunkan
oleh khulafaur rosyidin (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen).
Karena amalan tadi hanyalah dilakukan di masjid dan di rumah sebagaimana
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اجْعَلُوا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِى بُيُوتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
“Jadikanlah
shalat kalian di rumah kalian dan jangan jadikan rumah tersebut seperti
kubur” (HR. Bukhari no. 432 dan Muslim no. 777). Hadits ini menunjukkan
bahwa kubur bukanlah tempat untuk shalat dan juga bukan tempat untuk
membaca Al Qur’an. Amalan yang disebutkan ini merupakan amalan khusus
di masjid dan di rumah. Yang hendaknya dilakukan ketika ziarah kubur
adalah memberi salam kepada penghuninya dan mendoakan kebaikan pada
mereka.[1]
Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah penguburan mayit, beliau berhenti di sisi kubur dan berkata,
اسْتَغْفِرُوا لأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ
“Mintalah
ampun pada Allah untuk saudara kalian dan mintalah kekokohan (dalam
menjawab pertanyaan kubur). Karena saat ini ia sedang ditanya” (HR. Abu
Daud no. 2758. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Beliau sendiri tidak membaca Al Qur’an di sisi kubur dan tidak
memerintahkan untuk melakukan amalan seperti ini..
Memang
diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar -jika riwayat tersebut shahih-
bahwa beliau melakukan seperti itu, alasan ini tidak bisa dijadikan
pendukung. Karena yang namanya ibadah ditetapkan dari sisi Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dari Al Qur’an. Perkataan sahabat
tidak selamanya menjadi pendukung, begitu pula selainnya selain
khulafaur rosyidin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
mengenai khulafaur rosyidin,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Wajib
atas kalian berpegang tegus dengan ajaranku dan juga ajaran khulafaur
rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah kuat-kuat ajaran tersebut
dengan gigi geraham kalian” (HR. Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Majah no.
42. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih). Ajaran khulafaur
rosyidin bisa jadi pegangan selama tidak menyelisihi ajaran Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar
dan sahabat lainnya, maka itu tidak selamatnya bisa menjadi pegangan
dalam hal ibadah. Karena sekali lagi, ibadah adalah tauqifiyah, mesti
dengan petunjuk dalil. Ibadah itu tauqifiyyah, diambil dari Al Qur’an
dan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.
Adapun
perkataan Ibnul Qayyim dan sebagian ulama lainnya, itu tidak bisa
dijadikan sandaran. Dalam masalah semacam ini hendaklah kita berpegang
pada Al Qur’an dan As Sunnah. Amalan yang menyelisihi keduanya adalah
amalan tanpa tuntunan. Jadi, kita tidak boleh shalat di sisi kubur,
membaca Al Qur’an di tempat tersebut, berthawaf mengelilingi kubur, dan
tidak boleh pula berdo’a kepada selain Allah di sana. Tidak boleh
seorang muslim pun beristighotsah dengan berdo’a kepada penghuni kubur
atau si mayit. Tidak boleh pula seseorang bernadzar kepada penghuni
kabar karena hal ini termasuk syirik akbar. Sedangkan berdo’a di sisi
kubur atau berdo’a pada Allah di sisi kubur termasuk amalan yang
mengada-ngada.
Lalu
Syaikh rahimahullah ditanya oleh salah satu muridnya, “Apalah Imam
Ahmad telah rujuk secara perbuatan dari pendapat yang membolehkan
berdo’a di sisi kubur? Jazakumullah khoiron, semoga Allah membalasmu
dengan kebaikan.
Diriwayatkan
mengenai hal ini, namun aku sendiri tidak mengetahui keshahihannya
seandainya beliau rujuk. Namun jika beliau membolehkannya (berdo’a di
sisi kubur), maka beliau keliru, sama halnya dengan ulama lainnya. Dan
Ibnu ‘Umar sendiri lebih afdhol dari Imam Ahmad. Sekali lagi, pegangan
kita dalam ibadah adalah dalil Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59).
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (dikembalikan) kepada Allah.” (QS. Asy Syura: 10).
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.” (QS. Al Hasyr: 7).
Amalan ini adalah permasalahan ibadah dan permasalah yang urgent
sehingga seharusnya setiap muslim kembalikan pada ajaran Al Qur’an dan
As Sunnah yang suci.
Ada yang bertanya lagi pada Syaikh Ibnu Baz, “Apakah engkau berpegang pada madzhab tertentu?”
Beliau
rahimahullah menjawab, “Fatwa yang kukeluarkan tidaklah berdasarkan
pada madzhab tertentu, aku tidak berpegang pada madzhab Imam Ahmad dan
imam lainnya. Yang selalu jadi peganganku adalah firman Allah dan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baik pendapat tersebut
terdapat pada madzhab Ahmad, Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, atau
Zhohiriyah atau pada sebagian ulama salaf di masa silam. Yang selalu
jadi peganganku adalah dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Saya tidak selalu
berpegang pada madzhab Hambali atau madzhab lainnya. Sandaranku sekali
lagi adalah pada firman Allah dan sabda Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan yang menjadi petunjuk dari kedua dalil tersebut dalam
berbagai hukum. Inilah kewajiban yang harus diikuti setiap penuntut
ilmu.
[Referensi: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/9920]
Fatwa
di atas mengajarkan pada kita suatu pedoman yang penting dalam
beragama. Hendaknya kita berpegang teguh pada dalil. Perkataan ulama
atau ulama madzhab tidak selamanya bisa menjadi pegangan jika
menyelisihi ajaran Al Qur’an dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal ini berbeda dengan sikap sebagian orang yang terlalu fanatik buta
pada madzhab tertentu. Padahal para imam madzhab sendiri tidak
memerintahkan kita untuk ikut pendapatnya, yang mereka anjurkan adalah
ikutilah dalil.
Imam
Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf berkata, “Tidak boleh bagi seorang
pun mengambil perkataan kami sampai ia mengetahui dari mana kami
mengambil perkataan tersebut (artinya sampai diketahui dalil yang jelas
dari Al Quran dan Hadits Nabawi, pen).”[2]
Imam
Malik berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan
benar. Lihatlah setiap perkataanku, jika itu mencocoki Al Qur’an dan
Hadits Nabawi, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak mencocoki Al
Qur’an dan Hadits Nabawi, maka tinggalkanlah.[3]
Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i berkata, “Jika hadits itu shahih, itulah pendapatku.”[4]
Imam
Asy Syafi’i berkata, “Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah
pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas
jalan, maka itulah pendapatku.”[5]
Terdapat
riwayat shahih dari Imam Asy Syafi’i, beliau sendiri mengatakan, “Jika
ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi pendapatku,
maka beramallah dengan hadits tersebut dan tinggalkanlah pendapatku.”
Dalam riwayat disebutkan, “Pendapat (yang sesuai hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam) tersebut itulah sebenarnya yang jadi pendapatku.”
Perkataan ini disebutkan oleh Al Baihaqi, beliau mengatakan bahwa
sanadnya shahih[6].
Imam
Ahmad berkata, “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka ia berarti telah berada dalam jurang
kebinasaan.”[7]
Sekali
lagi ulama dan imam madzhab bukanlah Rasul yang setiap perkataannya
harus diikuti, apalagi jika menyelisihi dalil. Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Adapun menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam
setiap perkataannya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa yang
ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat. Menyikapi
seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang
selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.”[8]
0 comments:
Post a Comment