Thursday, November 22, 2012

Gelar Pahlawan Soekarno Sebagai Upaya Rujuk SBY-Mega?

Jakarta- Ketika berada di Istana Negara, Megawati yang mewakili keluarga Bung Karno, yang mendapatkan gelar pahlawan itu, tak menampakkan ekspressi, saat bertatap muka dengan Presiden SBY. Wajah Mega benar-benar "cool", sedingin salju musim dingin.
Mega mewakili keluarga Bung Karno, di mana Presiden SBY telah memutuskan memberikan gelar pahlawan kepada Bung Karno, seperti halnya terhadap Bung Hatta. "Dwi Tunggal", yang namanya selalu diidentikkan dengan kemerdekaan itu, baru kali pemerintah memutuskan memberikan gelar pahlawan nasional.
Upacara pemberian gelar itu dipimpin langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu 7 November 2012 di Istana Merdeka. Gelar yang sama juga diberikan kepada Mohammad Hatta - duet Soekarno ketika membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 di Jln Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Mega sampai sekarang tetap menjadi "key figur" dalam kehidupan politik nasional. Ketua Umum PDIP ini memainkan peranan penting selama reformasi, dan partainya menjadi kekuatan politik terbesar pasca reformasi. PDIP yang di masa rezim Soeharto, ditempatkan sebagai "musuh", kemudian menjadi kekuatan politik nasional utama.
PDIP dibawah Mega menjadi kekuatan oposisi utama, selama pemerintah SBY, dan SBY selalu gagal mengajak Mega masuk ke dalam koalisi pemerintahannya. Satu-satunya kekuatan politik yang melakukan "soft oposisi" hanyalah PDIP terhadap pemerintahan SBY. Upayanya SBY menggandeng Mega, tak pernah mencapai hasil. Mega tipikal tokoh yang memiliki "dendam", tak mudah lupa, ketika ia sudah disakiti.
Berulang SBY mengundang Mega ke Istana menghadiri upara hari kemerdekaan, setiap 17 Agustus, Mega tak pernah mau hadir di Istana. Memilih menyelenggarakan upara di markas PDIP di Lenteng Agung. Mega sakit hati terhadap SBY, saat ia masih berkuasa ditinggalkan oleh SBY, dan maju menjadi calon presiden, di tahun 2004. Padahal, waktu itu SBY, masih berada dalam pemerintahan Mega, dan menjabat sebagai Menko Polkam.
Langkah SBY memberikan gelar terhadap Bung Karno sebagai pahlawan, tak lepas usahanya melakukan rujuk, dan menginginkan agar PDIP dan Demokrat bisa bergandeng tangan di masa depan. Apalagi, Demokrat hari-hari ini menghadapi skenario gulung tikar, akibat epidemi korupsi yang menggerogoti tubuh Partai Demokrat. Semua prediksi yang dibuat berbagai lembaga polling, hanyalah menempatkan posisi Demokrat sebagai partai gurem.
Lalu, sekarang SBY melakukan "terobosan" yang mengharapkan dapat melunakkan hati Mega dengan memberikan gelar pahlawan nasional kepada Bung Karno. Sebuah langkah yang sangat berani yang dilakukan oleh SBY, yang bertujuan membangun kembali puing-puing kekuasaan dan politiknya, yang sekarang terancam runtuh.
Masalahnya, jauh sebelum penganugerahan, masalah Soekarno dan berbagai perannya dalam sejarah perjuangan Kemerdekaan RI dan pasca-kemerdekaan, telah melahirkan berbagai debat dan kontroversi.
Adanya perdebatan dan kontroversi itu ikut menyebabkan kebingungan di masyarakat Indonesia. Terutama generasi muda yang baru lahir setelah kematian Soekarno pada 1970. Bagaimana sesungguhnya Proklamator itu diposisikan? Apakah Soekarno  seorang pahlawan atau pengkhianat?
Pembelokan dan pengerdilan itu berakibat munculnya fakta yang tidak sesuai dengan logika. Salah satu kontroversi misalnya terkait dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No.33 tahun 1967.
Ketetapan MPR ini dipersoalkan keluarga Soekarno. Putri tertua Soekarno, Megawati Soekarnoputri misalnya seusai penganugerahan, kembali menegaskan keinginan keluarganya agar TAP MPR 1967 tersebut dicabut.
Karena Ketetapan MPR yang dibuat 45 tahun lalu tersebut, telah menempatkan Soekarno sebagai seorang pendiri bangsa, yang secara hukum bermasalah, yang dituduh terlibat daam pemberontakan PKI, di tahun 1965. Keluarga Soekarno menghendaki nama Proklamator itu direhabilitasi.
TAP ini merupakan produk pemerintahan Orde Baru, rezim pimpinan Jenderal Soeharto. Jenderal inilah yang mengambil alih hak kepresidenan dari tangan Soekarno di awal 1966. Pengambil-alihan kekuasaan itu menjadi legitimate, karena Soeharto berpegang pada apa yang ia namakan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Sementara semangat TAP 1967 itu sendiri memposisikan Presiden Soekarno dalam radar tudingan. Soekarno dituduh sebagai salah seorang tokoh nasional yang berada di balik usaha penggulingan kekuasaan yang sah. Pihak yang berusaha menggulingkan kekuasaan adalah oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mengapa TAP MPR Nomor 33 tahun 1967 itu kontroversil dan bertentangan dengan logika? Sebab ketika pada 30 Sepember 1965, PKI mau mengambil kekuasaan di Indonesia, pejabat yang berkuasa saat itu adalah Soekarno sendiri.
Adalah Brian May, wartawan Barat (Amerika Serikat) yang menganalisa ataupun membongkar tentang tuduhan keterlibatan Soekarno tersebut sebagai tak masuk akal. Brian yang pernah bertugas di Indonesia pada saat TAP itu dilahirkan, tidak sependapat dengan tudingan keterlibatan Soekarno. Ia menuliskan penilaiannya itu dalam bukunya berjudul "The Indonesian Tragedy".
Buku itu kemudian dilarang masuk ke Indonesia selama pemerintahan Soeharto (1966-1998). Kontroversi lain yang terkait dengan pencopotan kekuasaan Presiden Soekarno terletak pada Supersemar 1966.
Namun, di masa Soekarno berkuasa, memang sangat nampak kedekatan Soekarno dengan PKI. Soekarno yang menjadi penggali Pancasila itu, akhirnya mengalami inskonsistensi, yang mengebiri Pancasila, dan memeras Pancasila menjadi ekasila, yaitu gotong royong. Semuanya itu, akhirnya Soekarno terjebak dalam paradigma komunisme.
Soekarno yang disebut tokoh anti imperialisme dan kapitalisme, bersama dengan Gamal Abdul Nasser (Mesir), Houri Boumidine (Aljazair), Nehru (India) menjadi pencetus Gerakan Non-Blok, tetapi Soekarno  akhirnya berkiblat ke Moskow dan Peking, yang memang keduanya adalah pusat kekuatan komunisme dunia.
Dalam acara penganugerahan kemarin, usaha SBY itu kembali gagal. Sebab antara SBY dan Mega, tidak terjadi kontak yang mencerminkan adanya keinginan berdamai dari kedua pihak. Jabatan tangan mereka, dingin dan terkesan dipaksakan, karena tanpa tatapan. Peristiwa ini pun akhirnya termasuk salah satu kontroversi dari persoalan Soekarno.
Yah, boleh jadi Megawati atau keluarga Soekarno masih punya ganjelan kepada pemerintah termasuk pemerintahan SBY. Pasalnya usaha dan keinginan mencabut TAP MPR 33 tahun 1967 itu, tidak terlihat sama sekali.
Memang, harus diklarifikasi dengan jelas, tentang Soekarno yang dituduh terlibat dalam  pemberontakan PKI tahun 1965, yang banyak membawa korban, termasuk sejumlah jenderal yang dibunuh oleh PKI di Lubang Buaya.
Jika Tap MPR 33 tahun 1967 itu dicabut, implikasinya bukan hanya Soekarno yang harus direhabilitasi kembali, tetapi PKI yang melakukan pemberontakan juga harus direhabilitir.

0 comments: