Thursday, November 22, 2012

Negeri Terkutuk dan Berkuasanya Para Bandit

Jakarta - Boleh suka atau tidak suka. Sesungguhnya negeri ini negeri yang terkutuk. Diisi manusia-manusia jahat di semua lapisan ada. Tidak ada yang terkecuali. Perbuatan jahat dengan berbagai jenis dan variasinya, seperti sudah menjadi keniscayaan belaka.
Mulai dari penegak hukum, hampir semuanya terlibat dalam sungsang sengkarut kejahatan, tidak ada yang kalis dari keterlibatan mereka dalam kejahatan. Penegak hukum di Indonesia seharusnya menjadi tumpuan harapan rakyat. Menegakkan hukum dan keadilan. Tetapi, hampir semua penegak hukum terlibat dalam tindakan kotor, yang melawan hukum itu sendiri.
Hakim, jaksa, dan polisi, tak ada yang kebal dari tindak kejahatan, yang terus menerus. Rakyat menjadi sangat skeptis. Bagaimana kalau seorang hakim, ketika mengetukkan palunya, justeru dalam keadaan mabuk. Karena menelan narkoba. Tidak ada keputusan yang benar-benar adil yang dijatuhkan oleh hakim kepada seorang pidana, kecuali sudah terjadi transaksi, saat keputusan itu sebelum  dijatuhkan.
Sogok, suap, korupsi, dan tipu-menipu sudah menjadi bagian keseharian aktivitas mereka. Tidak ada aparat penegak hukum, seperti hakim, jaksa, dan polisi, yang selamat dari pengaruh sogok, suap, dan korupsi.
Tentu, yang paling fenomenal, korupsi Simulator SIM, yang dilakukan oleh Irjen Polisi Djoko Susilo, yang sampai sekarang tak perkara, di sidik KPK, sampai tuntas, karena fihak kepolisian, nampaknya tak ikhlas memberikan KPK menyidik. Sampai para penyidik dari kepolisian yang ada KPK, semua ditarik dari lembaga itu, dan bahkan pengawalnya Ketua KPK, Abraham Samad, yang berasal dari satuan kepolisian pun ditarik.
Sekarang ini, negeri Indonesia benar-benar negeri terkutuk. Semuanya lapisan dan struktur terlibat dalam kejahatan yang bersifat masif (menyeluruh), bahkan menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), kejahatan narkoba, sudah masuk ke Istana. Suatu keadaan yang benar-benar gawat yang dihadapi oleh Republik ini.
Mahfud MD, tidak salah, dan mengemukakan fakta dengan apa adanya, serta jujur. Memang sangat tidak masuk nalar, Presiden SBY, yang seharusnya menjaga konstitusi dan rakyatnya, justeru terjerumus, yang sangat tidak lazim, dan sebuah pelanggaran konstitusi.
Di mana menjadi kewajiban seorang kepala negara melindungi segenap tumpah darah tanah airnya. Tetapi, justeru yang dilakukan memberikan grasi dan ampunan terhadap mereka yang sudah terang-terangan menjadi ancaman kemanan nasional.
Apapun alasan Presiden SBY memberikan grasi terhadap ratu "marijuana" yang berasal dari Australia, bernama Corby, sangat lah tidak layak dan pantas dilakukan oleh seorang kepala negara. Corby benar-benar menjadi ancaman keamanan nasional Indonesia. Bagaimana Corby bisa mendapatkan grasi, yang sudah jelas-jelas melakukan kejahatan, yang tiada tara terhadap kepentingan nasional dan keamanan nasional Indonesia, tetapi dibebaskan oleh SBY?
Belum lagi hiruk-pikuk tentang Corby usai, dan menimbulkan silang pendapat diantara ahli hukum, sekarang yang lebih menyentakkan lagi, Presiden SBY memberikan grasi kepada raja narkoba, "OLA", dan inilah sebuah kesalahan yang sangat fatal, karena SBY sudah berani pasang batan, dan tetap ia menyatakan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.
Berarti negeri ini sudah benar-benar dikuasi oleh jaringan bandit narkoba, mulai dari istana sampai lp (lembaga permasyarakatan). Istana yang dijaga begitu keta, bisa ditembus oleh jaringan narkoba, dan kemudian indikasinya keluarnya grasi terhadap gembong narkoba seperti Corby dan Ola. Sebuah tanda-tanda negeri ini akan sampai ke ujung dasar jurang dan tenggelam.
Demikian pula, lembaga yang seharusnya menjadi kekuatan yang akan menjembatani kepentingan rakyat, justeru sekarang berjamaah ikut terlibat dalam korupsi secara luas. Lembaga DPR alias Legislatif, bukan lagi menjadi pembela rakyat, tetapi mereka kekuatan yang dengan terang-terangan menzalimi rakyat.
Mereka dengan kewenangan yang dimiliki mengeruk asset negara dan anggaran (APBN), seperti dalam berbagai kasus yang ada. Semuanya yang ada menunjukkan, betapa lembaga DPR alias Legislatif itu, tak secuilpun mereka yang benar-benar memihak kepada rakyat.
Sebuah polemik dan kontroversi tentang anggaran (APBN), sebuah yang bersifat keniscayaan. Terjadi kejahatan kolektif antara legislatif dan ekskutif. Ekskutif di tiap kementerian ingin menaikkan anggaran kementeriannya dengan cara nyogok kepada anggota legislatif (DPR). Seperti yang terjadi dalam berbagai kasus, diantaranya kasus di Kementeria Transmigrasi soal Pembangunan Infrastruktur, yang memungkinkan terjadinya puluhan miliar.
Koar-koarnya Menteri BUMN Dahlan Iskan sudah ada sejak dulu, dan sejak zamannya Menteri BUMN dibawah Sugiharto. Tetapi, efek pemberitaannya tidak seheboh sekarang ini. Kalangan BUMN ingin mendapatkan  penyertaan modal dari APBN, maka jalan yang ditempuh dengan cara nyogok kepada anggota DPR, dan sudah sangat berumur tua. Jadi tidak ada yang disebutkan Dahlan Iskan sebagai bentuk pemerasan, tetapi adanya "deal" antara DPR dengan para Direktur BUMN, yang ingin mendapatkan penyertaan modal.
Jadi antara legislatif dan ekskutif sama-sama busuk dan bobrok. Tetapi, kalau mau dibuktikan dengan cara hukum terbalik, sejatinya yang paling busuk dan korup itu, tak kalangan ekskutif. Tetapi, sekarang yang disidik hanyalah kalangan legisalatif belaka. Bayangkan fihak ekskutif (pemerintah) mengelola anggaran (APBN) sebesar Rp 1600 triliun, tetapi sepanjang pemerintahan SBY, tidak ada yang signifikan perubahan pembangunan, seperti pembangunan infrastrukturk.
Apalagi,sekarang dengan pola koalisi antara partai politik, sejatinya negara ini suah dikapling-kapling diantara para partai koalisi yang terlibat dalam pemerintahan SBY. Selama pemerintahan SBY, pos-pos strategis berada ditangan orang-orang yang dalam barisan partai SBY, yaitu Partai Demokrat.
Tetapi, ketika sudah terindikasi korupsi, sangat sulit penyelesaiannya secara hukum. Seperti dugaan korupsi terhadap Andy Malangrangeng dan Anas Urbaningrum, sampai sekarang semuanya majal. Tak bisa dijadikan tersangka. Padahal, saksi-saksi yang memberikan kesaksian suda cukup sebagai keterlibatan mereka dalam kasus korupsi.
Jadi, hakim, jaksa, polisi, pengacara, dokter, sampai tokoh agama pun, sekarang tak bisa bebas. Tokoh agama yang mendirikan partai politik,kemudia memberikan legitimasi kepada pemerintahan SBY, dan membiarkan kemungkaran hidup dan merajalela.
Karena mereka mendapatkan kursi di pemerintahan, dan menyebabkan para tokoh agama itu, lidahnya menjadi kelu, tidak lagi berani menegur ketika ada pejabat yang bertindak salah. Nilai-nilai aqidah yang sudah lama tertanam dalam dada mereka, mereka runtuhkan demi kekuasaan dan jabatan serta kenikmatan dunia. Inilah yang menyebabkan kerusakan lebih luas di negeri ini.
Bahkan, kejahatan itu sudah sangat luas, sampai ke pedagang di pasar-pasar, misalnya konon pedagang daging, disebuah pasar, di mana pedagang daging, harus mengoplos dagangan dagingnya dengan daging celeng (babi hutan) demi mendapatkan keuntungan lebih banyak.
Pokoknya kejahatan di negeri ini sudah sangat luas, tak ada lagi lapisan sosial, yang tidak melakukan kejahatan. Memang, wajar karena di negeri ini sudah tidak ada lagi  yang dapat menjadi penutan. Toko-tokoh yang mendapatkan gelar dan sanjungan yang sangat luas, ternyata mereka hatinya sudah rusak terkena penyakit akhir zaman, bernama penyakit : NIFAK.
Dari luar kelihatan baik dan shallih, dan selalu meneriakkan kebenaran, keadilan dan kebaikan, tetapi sejatinya mereka ini orang-orang yang paling membenci al-haq alias din (Islam), maka Indonesia terus menuju kehancuran yang sangat destruktif. Karena, tidak ada lagi, orang-orang yang ikhlas, dan tidak tergoda dengan aksesoris dunia. Wallahu'alam.

0 comments: